ki

ki
hoya

Senin, 10 Oktober 2011

kehilangan


Dibalik Surat

 Siang itu waktu yang ada termakan oleh perjalanan dari Jogja, dengan sejuta rasa gundah menyelimuti hati. Terhempas angin sepoi-sepoi, mengingatkan aku pada suatu surat di atas meja perpustakaan masjid. Berdiri dan siap meloncat dari bus, seketika itu aku ucap terima kasih lalu dengan seribu langkah berlari ke masjid, melihat surat yang sempat terabaikan. Rasa penasaran itu kini tengah mendampingiku, surat siapakan itu, jarang sekali aku temukan surat yang diperuntukan untukku, namun tak sempat aku baca karena panggilan ayah untuk menjengguk kak Adit yang tengah sakit. Sesampainya didepan masjid betapa kesalnya aku, pintu pagar terkunci, aku lihat di sekelilingku tak ada yang lewat maupun melihat, mendekat batang pohon, memanjat dan melompat pagar, masuk masjid dengan memaksa telinga masjid untuk terbuka, seperti biasa kunci perpustakaan masjid hanya di simpan di bawah karpet. Cukup dengan satu kali putaran kunci pintu itu terbuka, langkahku semakin pelan terasa berat, ku buka surat itu, tak ada nama pengirim di amplop itu. Tak sabar rasanya ingin segera tahu apakah isinya.
Pelan-pelan, kata  demi kata, tulisan ini sepertinya tak asing bagiku namun tak tahu secara pasti siapa yang memiliki tulisan ini, dear  to adekku Wiga “ kata itu membuatku semakin penasaran, kakak di Jakarta tak mungkin menulis surat untukku di sini. “ Ketika kamu membaca surat ini mungkin aku tengah jauh disana, berbaring tak sadarkan diri”. Kata-kata itu membuatku seketika takut, siapa yang dimaksud aku dalam surat ini. “ mungkin aku bukan siapa-siapa dimatamu, aku hanyalah titik kecil diotakmu yang kadang tak nampak berarti dimatamu”. Mataku terbelalk dan bibirku manyun seketika itu. Baru kali ini ada orang yang merasa tak dianggap olehku. “ Wiga, mungkin kamu masih terlalu kecil untuk memahami ini semua, sering kali aku kebingungan menjawab tanyamu yang begitu banyak dan yang aneh-aneh, hampir setiap jawabku kau bantah, dengan sejuta alasan, kebandelanmu membuatku terheran dan tertawa. Kau memang anak yang cerdas namun tak pernah mau mengalah, meskipun setiap Tanya telah aku jawab dengan sebaik mungkin, kau selalu marah dan melempar sandalku ketika kau pulang duluan dari masjid.”  aku mulai mengerti siapa yang menulis surat ini dan aku buka pada belakang kertas ini, ternyata benar kak Aditlah yang menulis. Mataku mulai berkaca-kaca, setelah setengah surat aku baca aku menangis tanpa suara, kak Adit memang hanyalah kakak ponakanku, namun dia sangat menyayangiku meskipun aku selalu bandel, tak pernah dengar kata yang diucapnya.
“ Wiga, kakak harap kamu tidak marah sama kakak, kakak tidak ingin jauh darimu, ingin selalu menjagamu, menjawab setiap tanyamu dan mendengarkan keluh kesahmu, namun kakak kira waktu kakak tidak panjang lagi,” Tangisku semakin tak tertahan lagi, semakin deras air mata ini mengalir, dan terasa sakit hati ini. Takut akan kehilangan kakak yang selama ini aku abaikan semua nasehatnya, selalu marah ketika apa yang aku pintakan tak dituruti. Rasa sesal kini berakar dalam hatiku. “ kakak suka sikap bandelmu itu karna ketika kau menemukan kebenaran maka kau akan melaksanakan sungguh-sungguh, tak akan luntur, takkan tergoyangkan oleh apapun. Kakak ingin kamu jadi wanita yang cerdas, taati semua perintah orang tuamu, jadikan mereka bangga kepadamu, bantu orang lain yang membutuhkan, perdalami ilmu agama juga. Kamu cantik, kakak yakin suatu saat nanti kamu akan menemukan pasangan hidup yang terbaik bagimu dik, kakak hanya harap kamu tidak berpacaran dahulu, yakinlah Allah akan memberikan jodoh yang paling baik, bahkan paling baik di muka bumi ini.” Mata ini semakin perih, telah banyak air mata yang dikeluarkan, aku yang tak terbiasa menangis merasa berat kedipkan mata.
“ Wiga bermimpilah sejauh dan setinggi mungkin, jangan pernah takut, yakinlah tidak  akan ada  yang tidak mungkin di bumi ini, meskipun berlumuran darah perjuangkan cita-cita itu. Meskipun akan banyak badai menghadang tapi kakak yakin kamu kuat. Mungkin kita tak seterang matahari, tak seelok rembulan, kita hanyalah lentera kecil yang akan padam namun kita punya cahaya yang tak pernah padam, ingat dan amalkan semua perintahnya. Wiga kakak harap kamu tidak menangis ketika kakak tidak ada. Kamu harus selalu semangat, kakak akan selalu menjagamu, melihatmu dari alam berbeda yang jauh disana. Kakak minta maaf, tidak bisa menjadi yang terbaik.” Hatiku terasa sakit, teriris pisaupun mungkin tak akan terasa.
Terlelap tidur, sejenak ingin melupakannya. Dalam mimpi, dia datang dan tersenyum aku memangilnya hendak minta maaf tapi dia pergi. “Kak tunggu aku mau ngomong, kakak!!” teriakku bangun dari tidur, aku hanya terdiam, kenapa dia tega menyiksaku seperti ini, harusnya dia tak membiarkan aku menangis. Langkah ini terasa berat, menyusuri jalan, sampainya depan pintu rumah aku menunduk, tak ingin mataku ini dilihat Ibu, “Dari mana? Jaga rumah ibu mau ketempat mas Adit, persiapan sebelum jenazah datang.” Hatiku makin teriris,  “Kenapa bu dengan mas Adit?”. “Sudah tidak ada, ibu pergi dulu.” Aku berlari menuju kamar, tak tahan lagi, air mata yang sempat terbendung kini membanjiri kamar.
Tanpa terasa aku tertidur. Aku yang tak pernah menangis merasa lelah mengeluarkan air mata, tiga jam berlalu, aku yang terbangun oleh panggilan ibu yang menyuruhku untuk mandi. Ibuku bilang jenazah sudah datang tapi tanpa suara ambulan karena takut membuat keributan di kampung. Aku coba untuk tidak menjatuhkan air mata ini, tetap tegar meskipun hati belum rela akan kepergiannya.
Langkah ini tak mampu lagi menahan badan  rasanya tak kuat lagi berjalan, aku lihat ayah dan ibu Mas Adit terdiam diantara kerumunan tetangga yang coba untuk menghiburnya, masuk sudut rumah aku melihat adik Kak Adit  menangis, matanya membengkak mungkin dari kemarin menangis. Aku tarik napas panjang-panjang mencoba bersabar, keluar pintu belakang aku lihat kerumunan orang dengan aliran air membanjir, aku coba melangkah, dalam hatiku berbisik “Ayo Wiga, kamu harus kuat, liahatlah Kak Adit sebelum dia tak dapat kau lihat lagi.” Terlihat wajahnya putih bersinar namun mulutnya mengeluarkan darah. Aku berlari tak dapat aku tahan tanggis ini. “Wiga, sini sayang  jangan menangis sudahlah semua sudah kehendakNYA.” Teriak Budhe Tinah, aku mendekat dan memengang tangannya, “Tapi budhe..” “Tenanglah pasti diberi tempat terbaik, Kak Adit tak ingin melihat tangismu, usap dan tersenyumlah.” Kata budhe mencoba untuk menghiburku.


( dengan sedikit editan,,,)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar